“AYAHKU
SEORANG PEMULUNG, TETAPI AKU SEORANG INSINYUR”
(Ceritaku,
Harapanku, dan Impianku)
Prolog
Aku,
saat ini adalah siswa kelas XII yang sebentar lagi akan merasakan kelulusan dan
perpisahan dengan teman-teman SMA. Sebelum itu, aku harus melewati berbagai
macam ujian yang bertubi-tubi demi mendapatkan sebuah kata “LULUS”, tetapi
tidak hanya kata itu yang aku inginkan,
namun juga ada kata plusnya,
“Lulus dengan predikat terbaik”.
Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu, karena
ayahku hanya seorang pemulung dan ibuku seorang ibu rumah tangga.Setiap hari,
ayahku menyusuri panjangnya jalan pantura di Indramayu dengan gerobak setianya
yang selalu menemani untuk menghidupi seluruh anggota keluarganya.Aku merupakan
anak ke-3 dari 5 orang bersaudara, kakakku yang paling sulung bekerja sebagai
nelayan dan belum menikah walau usianya sudah 29 tahun. Kakakku yang kedua,
masih mencari pekerjaan setelah ia lulus dari SMK jurusan Teknologi Pangan.Selanjutnya
2 adikku,yang laki-laki masih sekolah di bangku MTs dan yang perempuan masih
duduk di bangku Sekolah Dasar. Ibuku selalu berharap agar anak-anaknya nanti,
kelakkehidupannya lebih baik dari apa yang mereka alami sekarang.
Sebenarnya aku adalah anak ke-4 dari 6 bersaudara, tetapi
sejak 6 Oktober 2010 aku telah menjadi anak ke-3 dari 5 bersaudara karena
kakakku yang merupakan anak ke-2 telah “tereliminasi”
dari kerasnya kehidupan yang kami jalani. Ia telah kembali kepada Sang Khaliq.
Dia terkena penyakit bronchitis yang
kronis, karena sering menghisap debu dan asap kendaraan bermotor yang melintasi
jalan pantura. Pekerjaanya sama seperti apa yang dilakukan oleh ayahku, yaitu
memulung. Dia telah wafat karena penyakitnya tidak bisa diketahui.Dia tidak
pernah memeriksakan penyakitnya ke dokter atau kemanapun, karena batuk yang
sering dirasakannya dia kira hanyalah batuk biasa.Barulah ketika satu hari
menjelang ajalnya menjemput, dia merasakan dadanya sangat sakit.Lalu paman
memberanikan diri untuk membawanya ke rumah sakit, masalah biaya urusan belakangan. Setelah di cek oleh dokter,
diketahui bahwa iatelah menderita bronchitis
yang akut. Esok harinya kakakku langsung dibawa ke rumah, karena dia telah
menghembuskan napasnya yang terakhir pada pukul 02:10 WIB.
Ya, seperti itulah kisah sedih yang aku ingat sampai
sekarang. Aku tidak mau jalan hidupku, seperti apa yang sekarang dijalani oleh
ayahku, apalagi sampai mengalami peristiwa tragis seperti apa yang dialami oleh
kakakku. Aku ingin mengangkat derajat orang tuaku, serta mengubah kehidupan
keluargaku yang sudah lama menderita dengan keadaan seperti ini.
Tahun 2008
Ketika aku ingin melanjutkan SMP,
ayahku bingung memikirkan biaya yang harus dikeluarkan nanti.Sehingga aku
disuruh untuk tidak melanjutkan sekolah.Tetapi, ibuku yang selalu mendorong
semangatku agar aku melanjutkan sekolah. Untungnya di desaku ada sebuah
yayasan (Yayasan Hasanudin) yang
menawarkan sekolah gratis untuk kalangan orang yang yang tidak mampu. Akhirnya
aku melanjutkan sekolah di MTs Hasanudin Kandanghaur, yang merupakan sekolah
dengan fasilitas seadanyatetapi dengan pengajar yang mempunyai semangat
untuk mengajar anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Ibuku
menjadi TKW
Karena bosan dengan hidup yang serba kekurangan, akhirnya
ibuku memutuskan untuk pergi bekerja ke Kuwait tepatnya di Kota Kaifan, untuk
menjadi seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita).Selama dua tahun ibuku meninggalkan kami sekeluarga, sehingga secara
otomatis mulai saat itu ayahku menjadi single parent untuk sementara.
Mulai saat itu aku mulai merasakan kesedihan karena aku harus berpisah dengan
ibuku untuk waktu yang cukup lama.Aku juga merasa kasihan sekali melihat dua
adikku yang usianya jelas lebih rendah dariku.Adikku yang laki-laki, saat itu
berusia 8 tahun dan adikku yang perempuan baru berusia 3 tahun.Mereka harus
berpisah dengan ibunya. Aku lebih kasihan lagi kepada adikku yang perempuan,
sebab di usianya yang masih balita ia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang
ibu.
Tahun 2009
“Ayah,
aku malu, aku nggak mau ngutang lagi…”
Semenjak
kepergian ibu, keadaan ekonomi keluargaku ternyata semakin memburuk.Dikarenakan
penghasilan memulung yang dilakukan ayahku tidak mencukupi kebutuhan
sehari-sehari, maka aku sering disuruh oleh ayahku untuk berutang mie dan telur
serta kebutuhan lainnya demi memenuhi kebutuhan perut sekeluarga.Ayah selalu
berpesan kepadaku jika hendak berutang, bahwa ia akan melunasi hutangnya di
bulan depan karena mendapat kiriman uang dari ibuku. Dan itu pun tidak
dilakukan hanya sekali atau dua kali, tetapi setiap hari ke warung yang berbeda.Jadilah
aku dibuat malu untuk berutang ke warung lagi karena wajahku yang istilahnya
sudah dikenal sebagai “wajah utang”.Tetapi ayahku seperti yang tidak
mempunyai perasaan, aku terus saja disuruhnya untuk berutang. Jika aku menolak,
ia membentak dengan keras bahkan pernah juga disertai dengan tamparan.
“Ayah,
aku malu, aku nggak mau ngutang lagi.”
“Kenapa harus malu! Kamu masih punya hidung kan?”
Namun,
aku juga sadar kalau aku tidak berutang, siapa yang mau memberi makan lagi? Mau
makan apa? Mau makan batu? Aku pun memelas kepada pedagang toko atau warung dan
beralasan akan membayar tagihan di bulan depan, jika aku sedang berutang.
Untungnya para pedagang masih mempunyai rasa iba karena mengetahui aku berasal
dari keluarga kurang mampu.Pernah juga, kami harus membagi jatah makan kami
karena persediaan beras hanya sedikit.Solusinya, dengan membuat beras menjadi
bubur agar makanan yang dihasilkan lebih banyak, atau tetap menanak beras menjadi
nasi dengan jatah sepiring berempat.
Kakakku yang paling sulung bekerja sebagai nelayan, dan
hasil dari melaut hanya cukup untuk dirinya sendiri.Terkadang, bisa membantu
keuangan ayah, tetapi dalam waktu yang lama sekitar 2 atau 3 bulan.Kakakku yang
merupakan anak kedua, akhirnya ikut membantu ayah mencari barang-barang bekas.
Ayah berangkat sebelum subuh dan pulang setelah zuhur, dan kakakku berangkat
setelah ayah pulang dan kembali menjelang waktu magrib. Mulai saat itu, kondisi
ekonomi keluarga mulai membaik.Jika sebelumnya aku harus berhutang ke warung
setiap hari, sejak saat itu mulai berkurang, menjadi empat kali atau hanya 3
kali saja dalam seminggu.Uang yang dikirim dari ibuku setiap bulannya belum
mencukupi kebutuhan.Uang itu selalu habis untuk membayar hutang selama satu
bulan ke belakang serta membayar sebagian tagihan listrik dan air.
Menjadi juara
kelas dan juara umum
Semenjak
duduk di bangku Sekolah Dasar sampai SMP, alhamdulillahaku selalu menjadi juara
kelas serta juara umum. Walaupun aku tidak terlalu sering belajar kecuali saat
akan ulangan, karena waktuku yang disibukkan untuk memulung di siang hari(setelah
pulang sekolah) dan mengurus adikku yang masih kecil di malam hari. Tetapi,
setiap ada waktu luang aku sempatkan untuk membaca buku apa saja yang aku
temukan, misalnya : buku pengetahuan, bukucerita atau potongan-potongan kertas
koran sekalipun. Setiap kali guru-guru bertanya atau memberikan kesempatan
untuk bertanya, entah mengapa teman-temanku tidak ada yang mengacungkan tangannya.Anehnya,
aku bisa menjawabnya karena aku pernah membacanya walaupun di waktu yang sudah
lampau. Tak jarang beberapa guru yang aku tanyakan mengenai sesuatu,
kadang tidak bisa menjawab pertanyaanku,
karena membutuhkan tingkat analisis yang tinggi sehingga sering dijadikan ‘PR’
bersama. Seperti ketika aku menanyakan kepada Ibu guru fisika,
“
Bu, kalau wujud zat itu hanya ada 3, yaitu : wujud padat, gas dan cair. Maka
api dan listrik itu termasuk wujud zat yang mana?”
Guruku
pun bingung ketika mendapat pertanyaan tersebut.Ia kemudian menjawab,
“Kalau
mengenai itu, ibu belum tahu. Nanti, ibu coba cari lagi di buku, kamu juga bisa
cari sendiri yaa di buku-buku yang lain.”
Dikarenakan
aku selalu juara kelas dan juara umum, aku pernah diberi hadiah untuk berwisata
keliling Kota Jakarta sebanyak dua kali. Untuk ukuran sekolah yang memiliki
fasilitas kurang memadai dan terletak di pelosok daerah, memberikan kesempatan bagi
siswanya untuk pergi ke luar kota apalagi tujuannya untuk piknik, merupakan
sesuatu yang mewah. Selain itu, ketika di SMP aku juga pernah menorehkan
prestasi di luar lingkungan sekolah seperti juara 1 kejuaraan catur tingkat
kecamatan, juara 2 lomba pidato se-6 kecamatan di Indramayu, dan juara 3
olimpiade matematika se-Kabupaten Indramayu.
Tahun 2010
Kehidupan sekolahku penuh dengan warna-warni.Ada saatnya
aku tersenyum bangga karena selalu mendapatkan nilai bagus dan ada saatnya pula
akubersedih karena sesuatu karena ayahku selalu memaksaku untuk bekerja.Pernah,
saat itu aku hendak pergi menuntut ilmu namun tiba-tiba dari arah belakang
ayahku menarik kerah bajuku sampai aku tercekik dan hampir jatuh.
“Ngapain kamu sekolah?Emangnya sekolah bisa ngasilin
duit?Emangnya dengan sekolah kamu bisa jadi insinyur?Udahmendingan mulungaja!”
Akhirnya
aku merelakan satu hari emasku, untuk mendapatkan ilmu yang baru dari guru-guruku
tersebut.
Ibuku pulang
Pada
tanggal 21 Maret 2010, akhirnya ibuku pulang dari Kuwait membawa berbagai macam
pakaian, makanan dan oleh-oleh khas negara tersebut.Aku terharu bercampur
bahagia menyambut kedatangan ibuku.Kini, anak-anaknya sudah tumbuh dewasa.Ia
tidak pernah tahu bagaimana perjalanan hidup yang kami alami di sini. Kami pun
tidak pernah tahu apa yang dialami ibu ketika di sana. Ibuku sangat gembira ketika
melihat putrinya yang dahulu ia tinggalkan ketika usianya tiga tahun, kini
telah tumbuh menjadi anak yang ceria dan sangat berbeda dengan dua tahun lalu
ketika ia tinggalkan.
Ketika
ibuku mengetahui, bahwa uang yang selalu dikirimkan selalu habis dan keadaan
rumah masih sama seperti saat ia tinggalkan sebelumnya, juga utang kepada
tetangga dan warung pun masih ada, ibuku sangat kesal sekali kepada ayahku.
Karena ayahku, telah menyia-nyiakan uang hasil jerih payahnya selama bekerja di
luar negeri.Untungnya ibuku masih bisa membawa pulang sisa uangnya sebanyak
sepuluh juta. Dalam waktu satu bulan, uang itu digunakan untuk membayar utang
dan masih bersisa sekitar lima juta.
Setelah
ibuku pulang, aku berhenti memulung karena kebutuhan hidup sehari-hari sudah
terpenuhi. Dalam empat bulan, persediaan uang lima juta tersebut yang digunakan
untuk menutupi kekurangan kebutuhan sehari-hari, semakin hari semakin habis.
Ibuku sudah tidak betah dengan keadaan ekonomi seperti ini, ia ingin kembali
bekerja di luar negeri. Karena kondisinya semakin darurat, akhirnya ayahku
mengizinkan ibuku untuk bekerja ke luar negeri kembali sebagai TKW.Kali ini
dengan tujuan negara Uni Emirat Arab di Kota Dubai.
Ibuku menjadi
TKW kembali
Sungguh ironis, dalam waktu yang tidak lama setelah kami
sekeluarga baru saja menikmati kehangatan bersama ibu.Pada tanggal 3 Agustus
2010, ibuku kembali berangkat ke luar negeri untuk mengadu nasib di negeri
orang.Ia meninggalkan anak-anaknya kembali seperti dua tahun silam, kali ini
kondisinya lebih menyedihkan. Karena anaknya yang kedua dalam kondisi yang
tidak sehat, dia sering batuk-batuk dan tubuhnya semakin hari semakin
kerempeng. Kepergiannya kali ini membuat
aku bertanya apakah ibuku sayang kepada keluarganya atau tidak? Pikiran seperti
itu sempat muncul dalam benakku. Tetapi jika ia tidak menyayangi keluarganya
mana mungkin ia rela bekerja sampai harus pergi ke luar negeri.
Kakakku
meninggal dunia
Setelah keberangkatan ibuku, tanggal 6 Oktober 2010,kakakku
yang sedang sakit tersebut telah kembali kepada Sang Khaliq. Dia terkena
penyakit bronchitis yang kronis,
karena sering menghisap debu dan asap kendaraan bermotor yang melintasi jalan
pantura. Pekerjaanya sama seperti apa yang dilakukan oleh ayahku, yaitu
memulung. Dia telah wafat karena penyakitnya tidak bisa diketahui.Dia tidak
pernah memeriksakan penyakitnya ke dokter atau kemanapun, karena batuk yang
sering dirasakannya dia kira hanyalah batuk biasa.Barulah ketika satu hari
menjelang ajalnya menjemput, dia merasakan dadanya sangat sakit.Lalu paman
memberanikan diri untuk membawanya ke rumah sakit, masalah biaya urusan belakangan. Setelah di cek oleh dokter,
diketahui bahwa iatelah menderita bronchitis
yang akut. Esok harinya kakakku langsung dibawa ke rumah, karena dia telah
menghembuskan napasnya yang terakhir pada pukul 02:10 WIB.
Tahun 2011
Ketika mendengar bahwa anaknya telah meninggal dunia,
ibuku ingin segera pulang karena ia tidak ingin kehilangan anak-anaknya yang
lain. Tetapi karena proses pemulangan tidak semudah seperti apa yang
dibayangkan, maka ibuku baru dapat pulang pada bulan Januari 2011.
Setelah
lulus dari MTs dengan nilai UN yang cukup memuaskan dan asli tidak mencontek,
aku sempat bingung ingin melanjutkan SMA kemana. Semua SMA di sana membutuhkan
biaya, yang merupakan momok menakutkan bagi keluargaku. Aku teringat kembali
dengan perkataan ayahku, ketika mengetahui aku lulus dari MTs.
“Kamu tidak usah melanjutkan
sekolah, sekolah itu ngeluarin duit!
Bukan ngasilin duit! Mendingan ikut ayah bekerja karena
bekerja itu menghasilkan uang.Emangnya dengan sekolah kamu bisa jadi insinyur?Udahmendingan
mulungaja!”
Pikiran
itu pun kubuang jauh-jauh, karena aku masih mempunyai satu harta yang tak
ternilai harganya yaitu “mimpi”.Tanpa uang orang masih dapat hidup. Tetapi
tanpa “mimpi” orang akan mati karena tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas. Aku membayangkan bahwa aku dapat bersekolah dengan layak dan
dapat mewujudkan mimpiku.Di saat aku merenung di dalam kamar,
secara tak sadar aku meneteskan air mata.Karena bukan tipikal orang yang suka
larut dalam kesedihan maka cepat-cepat aku mengusap air mataku, ketika
mengetahui bahwa aku menangis.Dengan menggenggam tanganku sekuat mungkin, aku
memukul ubin rumahku keras-keras dan berteriak sekencang-kencangnya. Mulai saat
itu, semangat belajarku bergejolak seperti air mendidih dan aku berjanji untuk
menjadi seorang insinyur di masa depan, untuk membuktikan bahwa perkataan
ayahku hanyalah omong kosong.
Sebenarnya
ada sebuah sekolah yang biaya per bulannya masih dapat dikejar tetapi aku tidak
mau mendaftar ke sana. Karena sekolah itu merupakan Madrasah Aliyah yang
berbasis pesantren.Itu bertentangan dengan mimpiku untuk menjadi seorang insinyur.Hingga
datanglah sebuah kabar gembira yang memberi tahu agar aku tetap dapat
bersekolah.
Sebuah
titik terang dalam kehidupan
Suatu hari
saat aku bersekolah, aku mendengar kabar ada beasiswa yang diperuntukkan siswa
lulusan SMP/MTs kurang mampu untuk disekolahkan di SMA bertaraf internasional
selama tiga tahun di Bandung. Tepatnya di BINA SISWA SMA PLUS
CISARUA Provinsi Jawa Barat yang berasrama. Katanya, aku akan bersekolah di
BINA SISWA SMA PLUS CISARUA tetapi melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
intensif di SMA NEGERI 1 CISARUA, Kabupaten Bandung Barat.
Aku
pun langsung terkejut sekaligus sumringah mendengarnya.Info tersebut bagaikan angin segar yang
berhembus di tengah padang gersang.Kabar tersebut datangnya dari temanku di
MTs. Dia mengatakan, bahwa sahabatnya yang bersekolah di SMP NEGERI 1
Kandanghaur, mendapatkan formulir beasiswa untuk melanjutkan sekolah di
Bandung.Karena penasaran
maka aku pun meminta untuk diantarkan ke rumah orang
itu. Setelah
bertemu, aku berbincang-bincang sebentar dengannya dan aku pun mendapatkan
formulir pendaftarannya.Mulai
saat itu terjalin erat persahabatan antara aku dengan anak yang memberikan formulir tersebut.
Mendengar kabar beasiswa ini, ibuku sangat gembira dan mendukung penuh anaknya tersebut
untuk mendapatkan beasiswa. Tetapi berbeda dengan ayahku
dan memang seperti biasanya ayah khawatir dengan kehidupanku di sana. Soal makan, tempat, tinggal, dan biaya sekolah
bagaimana?Lalu aku pun menjelaskan bahwa itu beasiswa penuh yang ditanggung
Pemerintah Provinsi Jawa Barat selama tiga tahun termasuk hal-hal tadi. Namun
beberapa pertanyaan kembali membungkam mulutku untuk berbicara.
“Emang dibiayain selama itu? Gimanakalocuma setahun dan dua tahunnya kamu tanggung sendiri
biayanya?”
“Terus gimana kalo kamu direkrut jadi anggota NII
(Negara Islam Indonesia) terus
dijadikan pengantin bom? (saat itu memang NII sedang gencar-gencarnya terjadi di Bandung)”.
Aku memintatolong kepada salah satu guru
spiritualku, untuk membicarakan
hal ini dengan orangtuaku agar mereka percaya bahwa beasiswa itu benar adannya
dan bukan penipuan.Singkat
cerita guruku berhasil membujuk ayahku untuk tidak mengkhawatirkan diriku. Tetapi
saat mengetahui nilai UN-ku hanya 33,95 akumerasa pesimis untuk mengikuti tes
PSB (Penerimaan
Siswa Baru) di Bandung.Mungkin,
siswa-siswa dari kabupaten/ kota yang lain mempunyai nilai UN yang lebih
tinggi. “Optimis!” hanya kata itu yang dilontarkan oleh
guru agamaku demi membangun semangatku yang hampir
runtuh. Beliau juga memberikan wejangan agar aku salat tahajud dan berzikir di malam hari selama40 malam tanpa putus, jika aku bersikeras untuk tetap dapat sekolah. Pada awalnya hal
itu sangat sulit dilakukan karena harus mengorbankan waktu istirahatku. Namun karena dibiasakan, akhirnya aku berhasil melakukan amalan tersebut bahkan melebihi waktu
yang dianjurkan.
Beberapa hari kemudian ada panggilan dari pihak penyedia
beasiswa tersebut, melalui telepon kantor milik sekolah. Setelah mengangkat telepon dan berbincang-bincang ternyata aku lulus tes administrasi dan diundang untuk hadir dalam
tes PSB di Bandung. Allah telah mengabulkan satu keinginanku.Lalu aku keluar darikantor, memandang langit luas dan tersenyum.“Aku
akan berjuang untuk tes seleksi beasiswa ini,” gumamku dalam hati.
Seribu
nikmat dari Allah
Setelah sampai di Bandung aku dan guru pendampingku sempat tersesat di daerah Ledeng. Namun setelah
bertanya-tanya kepada warga sekitar, akhirnya aku sampai juga di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Letaknya di atas
Kota Cimahi dan kota-kota lainnya di daerah Bandung. Wajar saja ketika keluar
dari angkot dan menginjakkan kaki di tanah Cisarua,
kami menggigil kedinginan.
Gigi-gigikubergemeletukan dan aku menyimpan kedua telapak tanganku di ketiak.
Malam pun tiba. Para peserta PSB sedang
berada di kasurnya masing- masing. Beberapa diantara mereka ada yang sedang
belajar untuk menghadapi ujian tertulis esok hari, ada yang saling bertukar
pengalaman dengan teman-teman barunya, ada yang membaca Al-quran demi
dimudahkan masalahnya, dan ada pula yang sudah tertidur dilapisi jaket beberapa
lapis karena memang malam itu hawa Cisarua sangat dingin. Dan itu pun dirasakan
olehku.Dinginnya suasana malam karena daerah geografisnya dan dinginnya hidup
tanpa ditemani keluarga walau baru sehari aku berpisah.Bagaimana kalau aku
diterima di sini? Pasti akuakan berpisah berbulan-bulan dengan keluarga,
teman-teman, dan kampung halamanku. Tetapi, aku mengobati rasa ‘dingin’
tersebut dengan salat tahajud seperti apa yang dianjurkan oleh guru agamaku dahulu.
Keesokan
harinya para peserta PSB menjalani tes akademik.Bagiku, soal-soal IPA dan
matematika tidak ada apa-apanya, karena aku memang menyukai keduanya.Kecuali
saat aku bertemu dengan soal Bahasa Inggris.Dari dulu, memang aku dan pelajaran
Bahasa Inggris tidak pernah akur.Bahkan saat mengerjakan soal Bahasa Inggris di
tes akademik, aku merasa kebelet BAB (Buang Air Besar) dan dengan asal aku
mengerjakan semua soal.Mau dikerjain ya enggak bisa, mau ditinggalin ya
berarti aku telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Tetapi karena panggilan
alam telah berteriak sedari tadi, maka aku putuskan untuk cepat mengerjakan
soal secara lillahi ta’ala karena sudah optimis di soal matematika dan IPA,
lalu akukeluar dari ruang tes dan
langsung lari ke toilet.
Hari
kedua tes yang dijalani adalah tes kesehatan dan fisik, tes ini merupakan tes
yang sangat menyiksa jiwa dan raga.Di dalam sebuah ruangan yang disebut gedung
serbaguna, semua siswa di suruh membuka pakaiannya dan hanya menyisakan pakaian
dalamnya saja. Kemudian, disuruh lari ditempat, lalu melompat, lari ditempat
lagi, semakin cepat, diperlambat, lompat lagi, semakin tinggi, kemudian push
up, dan terus saja gerakan tadi berulang-ulang dilakukan tanpa berhenti selama
12 menit. Serta diperiksa seluruh tubuhku, apakah mempunyai tato?Bertindik?Atau
mempunyai penyakit dalam yang kronis.
Hari
ketiga diadakan tes wawancara dimana banyak peserta PSB yang menangis ketika
disuruh menceritakan kehidupan sehari-harinya di rumah.Tetapi tidak denganku.Walau
sudah dipaksakan untuk menangis tetap saja air mataku tidak menetes.
Di
hari keempat merupakan hari pengumuman kelulusan. Seluruh peserta PSB
melaksanakan apel penutupan sekaligus mengambil amplop yang berisi keterangan
lulus atau tidaknya. Tanda untuk siswa yang lulus adalah beramplop tebal karena
berisi lembaran persyaratan masa orientasi dan untuk yang belum lulus
sebaliknya. Banyak peserta yang berkomat-kamit meminta bantuan Allah saat
membuka amplopnya.Ada yang menangis terharu karena diterima dan ada pula yang
menangis karena belum diberi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa. Dari 150 peserta
PSB hanya diambil 70 orang yang terdiri dari 50 orang putra dan 20 orang putri.
Maka dari itu aku belum berani untuk membuka amplopku dan kembali pesimis untuk
bisa masuk ke dalam daftar 50 orang tersebut.Lalu aku meraba-raba amplopku dan
dirasakan bahwa amplopku tipis.Namun sebenarnya aku tidak bisa membedakan mana
amplop yang tebal dan mana yang tipis.Semakin besarlah rasa pesimisku itu.
Ketika
sedang menunggu bus, aku mendengar kabar dari dua orang alumni yang ikut
bersamaku bahwa ada dua orang yang berasal dari Kabupaten Indramayu yang lulus
seleksi. Dan diketahui bahwa akulah dan temankusatu lagi yang belum membuka amplop.Sedangkan,
siswa yang berasal dari Kabupaten Indramayu lain, sudah membuka amplopnya dan
mereka dinyatakan tidak lulus. Karena penasaran maka aku merobek amplopku dan
mengeluarkan dua buah kertas dari dalam amplop tersebut.Salah satu amplop
berisikan mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dibawa untuk masa
orientasi. Lalu mataku berkaca-kaca dan terus mengulang membaca surat tersebut.
Dalam hati aku mengucapkan hamdalah dan langsung pergi ke musala di SPBU
terdekat untuk melaksanakan salat duha.Tak henti-hentinya aku memuji asma Allah
ketika mimpi besarku untuk melanjutkan sekolah dikabulkan.
Tahun 2014
Aku
Rindu Kalian
Cuaca
di luar sedang tidak bersahabat. Halilintar menjilat-jilat permukaan bumi,
angin berhembus kencang memaksa pohon-pohon untuk terlepas dari akarnya, dan puluhan
liter air turun membasahi bumi Bandung
yang sudah lama berharap diguyur hujan.Sedangkan di meja belajar, aku sedang
duduk memandangi sebuah potret usang bergambar keluargaku yang sedang bersantai
di halaman rumah.Secara perlahan aku mengusap potret ayahkuyang seakan sedang
menatap wajahku. Sepertinya, aku sangat merindukan keluargaku yang berada di
Indramayu sana, karena sudah lama aku tidak bertemu mereka. Merasa sia-sia membuang
waktu dengan meneteskan air mata kerinduan ini, aku kembali mendalami
pelajaran-pelajaran yang belum aku kuasai walaupun jam dinding sudah
menunjukkan pukul 23:30 WIB.
Impian
dan harapanku di masa depan
Tak terasa masa pendidikanku di Bandung sebentar lagi
akan berakhir. Masa-masa indah SMA-ku telah kulewati tanpa kehadiran orang tua
di sisiku. Aku kira, aku tidak akan rindu seperti ini. Aku kira, aku tidak akan
sedih seperti ini. Ternyata jauh dari orang tua membuatku sadar, bahwa sekeras
apapun dan sekasar apapun ayahku, aku tetap merindukannya ketika ia jauh di
sisiku. Hingga akhirnya, dalam waktu yang tidak lama lagi aku akan melewati
garis finish pada jenjang Sekolah
Menengah Atas ini.
Sekaranglah waktunya bagi diriku untuk benar-benar dalam merencanakan
masa depan. Mulai dari sekarang aku harus menentukan tujuan dan pilihan yang
tepat sesuai dengan bidang yang aku minati disertai dengan kemampuan yang aku miliki.Sejak
dari MTs, perguruan tinggi yang aku tahu hanya ITB. Jika aku ditanya oleh guru
atau orang lain, “Apakah kamu ingin kuliah?”, aku akan jawab “Ya, aku ingin
kuliah, Insya Allah”. Mereka kembali bertanya, “Kemana kamu akan kuliah?”, aku
langsung menjawab, “ITB. Institut Teknologi Bandung.” Tetapi memang pada saat
itu aku belum tahu fakultas apa yang akan aku pilih karena aku belum mengerti.
Aku menjadi lebih banyak tahu tentang ITB ketika aku
duduk di bangku SMA, karena ternyata banyak juga siswa-siswi yang ingin
melanjutkan pendidikannya ke ITB. Untuk sekarang, apabila aku ditanya, “Apakah
kamu ingin melanjutkan kuliah?” maka bukan jawaban “Ya” atau “Tidak” yang akan
aku katakan. Tetapi aku akan menjawab dengan semangat dan detail, “Aku akan melanjutkan kuliah ke ITB fakultas STEI (Sekolah
Teknik Elektro dan Informatika) karena aku menyukai teknik elektro dan menjadi
mahasiswa terbaik disana serta menjadi sarjana teknik yang dapat diandalkan dan
menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain”.
Ketika aku sudah menjadi mahasiswa di ITB, aku tidak akan
bermalas-malasan, walaupun rasa malas atau bosan akan aku ditemui nantinya. Aku
tidak mau menyia-nyiakan pendidikanku yang telah aku perjuangkan itu, karena
orang tuaku yang berada di desa sedang menanti kedatanganku dengan menyandang
gelar “Sarjana Teknik”. Aku akan menggeluti bidangku dalam teknik elektro, aku
ingin sekali bisa menciptakan sebuah robot. Aku akan membuat robot multifungsi
yang dapat menyelesaikan seluruh masalah yang rumit sekalipun untuk membantu
manusia.
Di ITB aku tidak akan mungkin tinggal diam, aku akan
aktif mengikuti organisasi-organisasi yang ada di ITB dan menjadi orang
terpenting didalamnya. Pokoknya, aku
sudah siap dengan atmosphere yang
akan aku rasakan ketika menjadi mahasiswa di ITB nanti. Aku akan mengikuti
kompetisi-kompetisi tingkat nasional bahkan kalau bisa sampai ke tingkat
internasional dalam kompetisi “Robot Cerdas”. Itu semata-mata aku lakukan untuk
menambah wawasanku serta mengangkat namaku dan yang pasti nama almamater ITB.
Selanjutnya, setelah aku lulus S1 dan menjadi “Sarjana
Teknik” ITB, aku akan melanjutkan pendidikanku yaitu S2 dan S3 di Jerman.
Setelah itu, barulah aku akanmengembangkan ilmu yang aku dapatkan dari ITB dan Jerman.
Kemudian aku akan“mentransfer” ilmuku
kepada anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah tetapi tidak mempunyai biaya.
Aku
ingin sekali mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang menampung seluruh
anak-anak yang tidak bisa sekolah karena masalah biaya dan untuk anak-anak
jalanan. Selanjutnya aku akan mendirikan sebuah gedung besar yang berisi
peralatan elektronik, mekanik, material, mesin-mesin, serta alat-alat praktikum
sains yang menarik untuk melakukan eksperimen dan penelitian, yang letaknya
berdekatan dengan yayasan pendidikan yang aku dirikan sendiri. Sehingga,
apabila siswa-siswi yang berada dibawah naungan yayasanku sedang jenuh dalam
belajar, akan kuajak mereka jalan-jalan ke gedung tersebut untuk mencoba
peralatan sains yang ada di gedung tersebut agar mereka senang.
Kemudian, aku akan membangun desaku menjadi desa yang
maju dan makmur. Serta masyarakatnya tidak buta terhadap pendidikan dan
pengetahuan apalagi sampai ketinggalan informasi juga tidak ada anak-anak yang
hanya lulus SD atau SMP saja. Setelah desaku sudah maju, maka kecamatanku harus
menjadi kecamatan yang maju, lalu kotaku akan kujadikan kota yang mandiri dan
menjadi percontohan bagi kota-kota yang lain. Jika Allah masih mengijinkan
kesempatan kepadaku, maka aku akan membuat Provinsiku menjadi Provinsiunggul
dan terdepan dalam segala bidang. Setelah itu,aku akan membuat Indonesiaku
tidak lagi dikatakan sebagai negara yang ketinggalan teknologi, karena
Indonesia telah mampu membuat alat-alat yang canggih sendiri, tanpa perlu
bantuan dari negara manapun. Indonesia bukan lagi negara konsumtif, tetapi
menjadi negara produktif, lalu aku akan mengibarkan Sang Saka Merah-Putih
diatas puncak tertinggi Mount Everest. Sekarang aku bisa membuktikan kepada ayahku,
bahwa aku bisa menjadi “insinyur”.Bahkan, lebih daripada itu karena aku telah
membuat Indonesia tidak dianggap remeh di mata dunia.Namaku akan dikenang oleh
seluruh rakyat Indonesia walaupun aku telah meninggalkan dunia ini. Seperti
itulah, kisah hidup dan cita-citaku semoga bermanfaat bagi para pembaca dan
semua cita-citaku dapat terwujud. Amin…
Biodata
Penulis
Nama :
Jajat Sudrajat Iskadir
Sekolah : SMA NEGERI 1 Cisarua, Kabupaten Bandung Barat
Alamat
e-mail : jajatsudrajatiskadir@ymail.com
Alamat
tinggal : Asrama BINA SISWA SMA
PLUS CISARUA
Prov. Jawa Barat Jln. Terusan Kolonel Masturi
No.64 Kec. Cisarua Kab. Bandung Barat 40751.
Ini Nama Facebook saya :
BalasHapusJajat Sudrajat Iskadir.