Minggu, 13 Juli 2014

Kisah Penyandang Difabel



PERJUANGAN SEORANG “TUNA DAKSA”
UNTUK MERAIH MIMPI
                           Cacat bukan alasan seseorang untuk tidak bisa sukses. Cacat bukan alasan untuk terus berdiam diri tanpa melakukan sesuatu apapun. Cacat juga bukan alasan untuk menjadi seorang pengemis dan hanya berpangku tangan. Cacat seharusnya menjadi sebuah kelebihan jika tahu caranya. Seorang yang cacat akan lebih banyak waktu yang bisa diberikannya untuk berpikir daripada orang yang sehat dan memiliki mobilitas tinggi. Seorang yang cacat akan menjadi sangat luar biasa jika ia bisa menggunakan kemampuan anggota tubuh lain untuk menutupi kelemahannya. Serta mempunyai semangat tinggi untuk bangkit dari keadaan yang menghambat dalam meraih impiannya. Seperti yang dilakukan oleh sahabat kita ini dalam memperjuangkan impiannya.
                           Dia bernama Ujang Hendrawan, lahir di Sukabumi, 09 September 1995 dengan keadaan fisik yang kurang lengkap dari orang normal biasanya atau biasa disebut dengan “Tuna Daksa”. Dia merupakan bungsu dari 4 bersaudara. Kakaknya, yang merupakan anak pertama dari keluarga tersebut telah menikah dan bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik yang ada di Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan dua orang kakaknya lagi masih menjadi pengangguran karena belum bekerja. Ijazah SD yang mereka miliki tidak akan membantu apa-apa dalam upaya mencari kerja. Ayah Ujang bernama Pak Santoni yang merupakan seorang penjual sayur keliling di kampungnya, terkadang ia juga bisa menjadi buruh tani atau tiba-tiba menjelma menjadi kuli bangunan. Pekerjaan serabutan semacam itu, sudah merupakan agenda yang tidak asing lagi dalam catatan kehidupan Pak santoni. Ia menjalani dengan sabar dan ikhlas tanpa perlu berkeluh-kesah, toh tidak ada yang akan mendengar keluh-kesahnya.
                           Ibu ujang bernama Ibu Ai Maryati yang merupakan ibu rumah tangga bagi keluarga Pak Santoni sekaligus sebagai buruh tani juga, untuk membantu penghasilan yang didapatkan oleh suaminya. Dari empat orang anak tersebut, ketiga kakak Ujang terlahir dengan normal. Hanya Ujang saja sebagai anak terakhir yang terlahir dengan kondisi fisik tidak normal. Dia tidak mempunyai telapak tangan kiri, hanya memiliki sebagian telapak tangan tangan dengan dua jarinya yaitu ibu jari dengan jari telunjuk dan jari tengah yang saling melekat, serta kedua telapak kakinya hanya sebagian. Terkadang dengan kondisi fisik yang seperti ini, dia pernah menyalahkan Tuhan. Mengapa ia terlahir cacat? Mengapa ia tidak terlahir sebagai orang normal? Tetapi, akhirnya ia hanya bisa pasrah dan menerima apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan kepada dirinya.
                   Bisa masuk SD dan bergabung bersama siswa-siswi yang normal
                           Ketika Ujang ingin sekolah, orang tuanya bingung mau menyekolahkan Ujang kemana. Karena sekolah-sekolah dasar yang ada di desanya tidak bisa menerima Ujang dengan kondisi fisik yang cacat. Guru-guru sekolah itu khawatir, kalau nanti Ujang sekolah dan bergabung dengan orang-orang normal, ia akan ketinggalan pelajaran karena tertinggal oleh teman-temannya yang lain. Guru-guru SD itu menyarankan agar Ujang disekolahkan di sekolah yang khusus untuk menangani orang-orang yang cacat seperti Ujang itu. Tetapi Ujang tidak mau belajar di sekolah khusus tersebut. Ia merasa dirinya bisa dan mampu belajar bersama orang-orang normal, dia tidak mau dianggap lemah oleh orang lain. Akhirnya datang juga sebuah harapan, ada tetangganya yang merupakan Wakil Kepala Sekolah SD di desanya, yang menawarkan agar Ujang bisa sekolah di Sekolah Dasar bersama orang-orang normal, dengan syarat Ujang harus melakukan tes menulis abjad dan angka-angka. Ujang sebelumnya pernah diajari menulis oleh kakaknya, berupa tulisan huruf latin, angka, dan huruf arab. Maka dengan mudah ia menuliskan abjad dan angka yang diperintahkan oleh Wakil Kepala Sekolah tersebut, bahkan ditambah bonus dengan menulis tulisan arab juga. Akhirnya ia bisa diterima dan dapat bergabung untuk bersekolah dengan teman-teman barunya yang normal.
                   Selalu berprestasi di kelas maupun di luar kelas
                           Walaupun banyak orang yang meremehkan dengan keadaan fisiknya, ternyata itu tidak menghambat prestasinya. Malah teman-temannya berdecak kagum padanya karena Ujang selalu masuk peringkat 5 besar di kelasnya sejak dari kelas 1 sampai kelas 6 SD, yang terasa susah bagi teman-temannya walaupun mereka normal. Ketika baru masuk SD kelas 1 pun, dia sudah  menorehkan prestasi yaitu juara 1 menulis “Tulisan Tegak Bersambung” di tingkat kecamatan. Padahal sangat susah untuk anak seperti Ujang mendapat juara menulis, apalagi menjadi juara 1 dan mengalahkan anak-anak yang normal.
                   Cobaan datang ketika akan melanjutkan ke SMP
                           Setelah lulus SD, orang tuanya kembali bingung. Kali ini mengenai biaya yang akan dikeluarkan nanti. Untungnya, ayah Ujang memiliki sebuah tabungan yaitu dua ekor domba. Untuk biaya masuk, perlengkapan sekolah, dan seragam sekolah membutuhkan biaya yang banyak. Maka ayahnya berencana untuk menjual kedua ekor dombanya yang telah lama ia pelihara. Namun, apa yang terjadi? Dua ekor domba yang akan dijual itu, ada yang mencurinya. Ayah ujang langsung terkejut dan lemas seketika, melihat kenyataan ini. Domba yang telah lama ia besarkannya kini hilang dalam sekejap saja. Semakin bingung lagi, memikirkan biaya untuk sekolah Ujang. Tetapi, Tuhan masih memberikan jalan, kakaknya Ujang yang bekerja di Bekasi mengirimkan uang untuk biaya Ujang masuk sekolah dan segala keperluannya. Akhirnya Ujang dapat sekolah dan terus berjuang untuk mewujudkan mimpi dan cita-citanya.
                   Membantu menjual gorengan dan menjadi kuli bangunan
                          Pada kelas VIII SMP dia ikut membantu pamannya untuk menjual gorengan ke tetangga-tetangga sekitarnya sebelum ia berangkat ke sekolah, yaitu mulai dari setelah salat subuh sampai pukul 06:30 ketika ia akan berangkat ke sekolah. Sedangkan setelah pulang sekolah, ia membantu ayahnya bekerja menjadi kuli bangunan. Dia membantu membuat campuran semen dan pasir, serta memplester tembok. Ia bisa melakukannya karena sebelumnya ia telah diajari oleh ayahnya. Uang hasil dari menjual gorengan dan membantu ayah bekerja, bisa ia pakai untuk menambah pundi-pundi uang saku dan membeli perlengkapan sekolah yang harus diganti. Pekerjaan tersebut dilakukannya sampai ia lulus dari SMP. Selama di SMP, prestasinya pernah menurun ketika baru masuk kelas VII, dia hanya meraih peringkat 6 di kelasnya. Tetapi mengalami peningkatan drastis setelah ia naik kelas. Di kelas VIII dan kelas IX ia selalu menduduki peringkat pertama di kelasnya.
                                       Setelah lulus dari SMP dengan nilai Ujian Nasional yang cukup memuaskan dan asli tidak menyontek, Ujang sempat bingung ingin melanjutkan SMA kemana. Semua SMA di sana membutuhkan biaya, apalagi kalau masuk SMA harus melanjutkan kuliah yang pastinya akan memerlukan biaya lebih besar lagi. Sehingga ia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan ke SMA. Ia mendengar kabar bahwa ada SMK dengan jurusan pertanian. Kalau untuk jurusan tersebut, ia optimis bisa! Karena dia bisa mencangkul dan bisa melakukan kegiatan pertanian lainnya, sehingga ia berkeinginan untuk melanjutkan ke SMK Pertanian. Tetapi, ia urungkan kembali mengingat biaya SMK itu terlalu mahal bagi keluarganya, apalagi untuk biaya-biaya prakteknya.
                   Sebuah titik terang dalam kehidupan
                           Ketika siswa-siswi kelas IX SMP berkumpul untuk ditanyakan mengenai rencana mereka melanjutkan ke SMA, Ujang hanya bisa menatap awan dari kaca jendela dan menerawang jauh ke langit sana dengan tatapan kosong yang penuh tanda tanya. Saat gurunya menanyakan kepada Ujang tentang rencana melanjutkan SMA, Ujang bingung harus menjawab apa.
                           “Ujang, setelah lulus SMP, kamu mau melanjutkan kemana?” Tanya gurunya.
                           “Enggak tahu Pak! Semua SMA dan SMK memerlukan biaya banyak, apalagi dengan kondisi saya seperti ini.” Jawab Ujang.
                           “Kamu enggak lihat di papan pengumuman yang ada di perpustakaan. Di situ ada informasi mengenai beasiswa SMA dan asrama gratis selama tiga tahun dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, tempatnya di Kabupaten Bandung Barat. Serta biaya makan juga ditanggung selama tiga tahun penuh, nama sekolahnya BINA SISWA SMA PLUS CISARUA Provinsi Jawa Barat. Kamu bisa lihat dan ikut daftar ke sana.”
                           “Wah, yang benar Pak! Tapi apakah di sana mau menerima siswa seperti saya?”
                           “Coba saja, siapa tahu kamu bisa lulus dan diterima!”
                           “Terima kasih atas informasinya Pak.”
                           Setelah dilihat, Ujang tersenyum bahagia. Akhirnya ia punya kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya. Esok harinya ia meminta bantuan kepada gurunya untuk membantunya dalam melengkapi persyaratan berkas administrasinya. Setelah persayaratan administrasi lengkap, barulah ia mengirimkan berkas pendaftaran tersebut. Kini ia tinggal menanti panggilan melalui telepon. Seminggu setelah pengiriman berkas, ia mendapat panggilan lewat telepon kakaknya yang menyatakan bahwa ia telah lulus berkas administrasi, selanjutnya ia harus pergi ke Bandung untuk mengikuti tes selanjutnya.
                   Mendapatkan beasiswa
                           Ia bersyukur sekali, karena tahap seleksi administrasi telah ia lewati. Kini tinggal melewati tahapan berikutnya yaitu menjalani serangakaian tes yang akan ia hadapi, diantaranya : tes akademik, tes kesehatan, dan tes wawancara. Ia berangkat ke Bandung dengan diantar guru pendampingnya sampai akhirnya tiba juga di BINA SISWA SMA PLUS CISARUA Provinsi Jawa Barat, yang terletak di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Tes akademik dan wawancara yang ia jalani tidak ada kendala sama sekali, kecuali saat tes kesehatan yang berhubungan dengan fisik. Dia agak pesimis pada tes ini, tapi tetap optimis karena sudah sejak lama dia selalu pesimis dalam segala hal yang berhubungan dengan fisiknya. Setelah rangkaian tes dijalani, esok hari akan di umumkan hasil tesnya. Dari siswa-siswi yang berasal dari seluruh Kabupaten/ Kota yang ada di Provinsi jawa Barat, dengan jumlah peserta tes sebanyak 150 orang hanya akan diambil sebanyak 70 orang, yang terdiri dari 50 orang putra dan 20 orang putri.
                           Hari pengumuman pun tiba. Para siswa dan siswi peserta tes berkumpul di lapangan apel dan menunggu antrian untuk mendapatkan amplop pengumuman. Suasana haru dan bahagia bercampur baur di tempat itu, setelah para peserta membuka amplop pengumuman kelulusan. Ada yang menangis terharu karena diterima dan ada pula yang menangis karena belum diberi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa. Ujang pun berharap-harap cemas. Namun gurunya yang mengambil amplop pengumuman lulus atau tidaknya Ujang dalam tes tersebut. Gurunya mengatakan bahwa amplopnya dibuka nanti saja ketika sudah kembali ke sekolahnya. Ujang agak sedikit kecewa dan penasaran atas apa yang telah dilakukan gurunya. Ketika satu hari setelah Ujang tiba di sekolahnya, diadakan apel dan nama Ujang di sebutkan bahwa ia dinyatakan “Lulus” di BINA SISWA SMA PLUS CISARUA. Ternyata, sebenarnya guru pendamping Ujang sudah mengetahui bahwa Ujang lulus tes dan mendapat beasiswa di BINA SISWA SMA PLUS CISARUA sebelum amplop di bagikan, karena ia menanyakan langsung ke kantornya. Gurunya ingin memberikan kejutan kepada Ujang. Kini Ujang akan mulai menjalani hari-harinya tanpa ditemani oleh keluarganya karena ia akan sekolah di tempat yang letaknya jauh dari kampung halamanya.
                   Impian dan harapannya di masa depan
                           Sekarang Ujang sudah menjadi kelas XI di SMA yang sebentar lagi akan menjadi kelas XII, setelah itu ia akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Ujang mempunyai impian dan cita-cita yaitu ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk itu setelah lulus dari SMA, ia berencana untuk melanjutkan pendidikannya ke IPB (Institut Pertanian Bogor) di Fakultas Agronomi dan Holtikultura, agar sejalan dengan cita-citanya. Ia mempunyai alasan tersendiri, mengapa ia ingin menjadi insinyur pertanian? Tujuannya agar Indonesia menjadi bangsa yang subur dan makmur. Sejak dari dulu, Indonesia selalu mengekspor beras dan berbagai macam hasil pertanian. Namun kenyataannya sekarang, Indonesia malah mengimpor beras, gula, dan hasil pertanian lainnya kepada negara lain. Padahal Indonesia adalah tanah yang kaya dan subur. Oleh karena itu ia ingin menjadi insinyur pertanian. Jika dia punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, ia ingin melanjutkan  S2 dan S3 di negara-negara yang telah maju dalam bidang pertanian, seperti Jepang yang telah mampu menanam berbagai jenis tanaman di atap gedung dan di bawah tanah tanpa penyinaran matahari. Setelah itu ia juga ingin mendirikan sebuah yayasan pendidikan dan pesantren untuk orang-orang yang tidak mampu, terutama kepada orang-orang yang mempunyai kekurangan fisik seperti dirinya.           
                           Ia ingin Indonesia menunjukkan kejayaannya di tengah arus globalisasi dan pasar bebas saat ini. Ia juga berkeinginan untuk memberangkatkan haji kedua orang tuanya serta ia ingin menjadi bagian dari perubahan Indonesia yang lebih maju. Sungguh mulia cita-citamu, Kawan. Dengan segenap hati dan ketulusan jiwa aku doakan semoga kau sukses di kemudian hari dan dapat mewujudkan mimpi-mimpimu yang belum tercapai. Amiin…






                   Foto Ujang, “Sang Penyandang Difabel”                          Ujang berfoto dengan Penulis
                   Profil  singkat penulis
                          Penulis dilahirkan di Indramayu, 19 April 1995. Penulis pernah menjadi juara pertama pada sayembara tulisan dalam acara “AKU MASUK ITB 2014” tingkat Nasional dan juara pertama “Lomba Mengarang Motivasi” Satya Graha Hotel Yogyakarta se- Jawa. Sekarang penulis baru saja lulus dari SMA NEGERI 1 Cisarua Kabupaten Bandung Barat dan sedang meneruskan pendidikannya ke Institut Teknologi Bandung.


“AYAHKU SEORANG PEMULUNG, TETAPI AKU SEORANG INSINYUR” (Ceritaku, Harapanku, dan Impianku)



“AYAHKU SEORANG PEMULUNG, TETAPI AKU SEORANG INSINYUR”
(Ceritaku, Harapanku, dan Impianku)
Prolog
Aku, saat ini adalah siswa kelas XII yang sebentar lagi akan merasakan kelulusan dan perpisahan dengan teman-teman SMA. Sebelum itu, aku harus melewati berbagai macam ujian yang bertubi-tubi demi mendapatkan sebuah kata “LULUS”, tetapi tidak hanya kata itu yang aku inginkan,  namun juga ada kata plusnya, “Lulus dengan predikat terbaik”.
            Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu, karena ayahku hanya seorang pemulung dan ibuku seorang ibu rumah tangga.Setiap hari, ayahku menyusuri panjangnya jalan pantura di Indramayu dengan gerobak setianya yang selalu menemani untuk menghidupi seluruh anggota keluarganya.Aku merupakan anak ke-3 dari 5 orang bersaudara, kakakku yang paling sulung bekerja sebagai nelayan dan belum menikah walau usianya sudah 29 tahun. Kakakku yang kedua, masih mencari pekerjaan setelah ia lulus dari SMK jurusan Teknologi Pangan.Selanjutnya 2 adikku,yang laki-laki masih sekolah di bangku MTs dan yang perempuan masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ibuku selalu berharap agar anak-anaknya nanti, kelakkehidupannya lebih baik dari apa yang mereka alami sekarang.
            Sebenarnya aku adalah anak ke-4 dari 6 bersaudara, tetapi sejak 6 Oktober 2010 aku telah menjadi anak ke-3 dari 5 bersaudara karena kakakku yang merupakan anak ke-2 telah “tereliminasi” dari kerasnya kehidupan yang kami jalani. Ia telah kembali kepada Sang Khaliq. Dia terkena penyakit bronchitis yang kronis, karena sering menghisap debu dan asap kendaraan bermotor yang melintasi jalan pantura. Pekerjaanya sama seperti apa yang dilakukan oleh ayahku, yaitu memulung. Dia telah wafat karena penyakitnya tidak bisa diketahui.Dia tidak pernah memeriksakan penyakitnya ke dokter atau kemanapun, karena batuk yang sering dirasakannya dia kira hanyalah batuk biasa.Barulah ketika satu hari menjelang ajalnya menjemput, dia merasakan dadanya sangat sakit.Lalu paman memberanikan diri untuk membawanya ke rumah sakit, masalah biaya urusan belakangan. Setelah di cek oleh dokter, diketahui bahwa iatelah menderita bronchitis yang akut. Esok harinya kakakku langsung dibawa ke rumah, karena dia telah menghembuskan napasnya yang terakhir pada pukul 02:10 WIB.
            Ya, seperti itulah kisah sedih yang aku ingat sampai sekarang. Aku tidak mau jalan hidupku, seperti apa yang sekarang dijalani oleh ayahku, apalagi sampai mengalami peristiwa tragis seperti apa yang dialami oleh kakakku. Aku ingin mengangkat derajat orang tuaku, serta mengubah kehidupan keluargaku yang sudah lama menderita dengan keadaan seperti ini.



Tahun 2008
            Ketika aku ingin melanjutkan SMP, ayahku bingung memikirkan biaya yang harus dikeluarkan nanti.Sehingga aku disuruh untuk tidak melanjutkan sekolah.Tetapi, ibuku yang selalu mendorong semangatku agar aku melanjutkan sekolah. Untungnya di desaku ada sebuah yayasan  (Yayasan Hasanudin) yang menawarkan sekolah gratis untuk kalangan orang yang yang tidak mampu. Akhirnya aku melanjutkan sekolah di MTs Hasanudin Kandanghaur, yang merupakan sekolah dengan fasilitas seadanyatetapi dengan pengajar yang mempunyai semangat untuk mengajar anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Ibuku menjadi TKW
            Karena bosan dengan hidup yang serba kekurangan, akhirnya ibuku memutuskan untuk pergi bekerja ke Kuwait tepatnya di Kota Kaifan, untuk menjadi seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita).Selama dua tahun ibuku  meninggalkan kami sekeluarga, sehingga secara otomatis mulai saat itu ayahku menjadi single parent untuk sementara. Mulai saat itu aku mulai merasakan kesedihan karena aku harus berpisah dengan ibuku untuk waktu yang cukup lama.Aku juga merasa kasihan sekali melihat dua adikku yang usianya jelas lebih rendah dariku.Adikku yang laki-laki, saat itu berusia 8 tahun dan adikku yang perempuan baru berusia 3 tahun.Mereka harus berpisah dengan ibunya. Aku lebih kasihan lagi kepada adikku yang perempuan, sebab di usianya yang masih balita ia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu.
Tahun 2009
“Ayah, aku malu, aku nggak mau ngutang lagi…”
Semenjak kepergian ibu, keadaan ekonomi keluargaku ternyata semakin memburuk.Dikarenakan penghasilan memulung yang dilakukan ayahku tidak mencukupi kebutuhan sehari-sehari, maka aku sering disuruh oleh ayahku untuk berutang mie dan telur serta kebutuhan lainnya demi memenuhi kebutuhan perut sekeluarga.Ayah selalu berpesan kepadaku jika hendak berutang, bahwa ia akan melunasi hutangnya di bulan depan karena mendapat kiriman uang dari ibuku. Dan itu pun tidak dilakukan hanya sekali atau dua kali, tetapi setiap hari ke warung yang berbeda.Jadilah aku dibuat malu untuk berutang ke warung lagi karena wajahku yang istilahnya sudah dikenal sebagai “wajah utang”.Tetapi ayahku seperti yang tidak mempunyai perasaan, aku terus saja disuruhnya untuk berutang. Jika aku menolak, ia membentak dengan keras bahkan pernah juga disertai dengan tamparan.
“Ayah, aku malu, aku nggak mau ngutang lagi.”
            “Kenapa harus malu! Kamu masih punya hidung kan?”
Namun, aku juga sadar kalau aku tidak berutang, siapa yang mau memberi makan lagi? Mau makan apa? Mau makan batu? Aku pun memelas kepada pedagang toko atau warung dan beralasan akan membayar tagihan di bulan depan, jika aku sedang berutang. Untungnya para pedagang masih mempunyai rasa iba karena mengetahui aku berasal dari keluarga kurang mampu.Pernah juga, kami harus membagi jatah makan kami karena persediaan beras hanya sedikit.Solusinya, dengan membuat beras menjadi bubur agar makanan yang dihasilkan lebih banyak, atau tetap menanak beras menjadi nasi dengan jatah sepiring berempat.
            Kakakku yang paling sulung bekerja sebagai nelayan, dan hasil dari melaut hanya cukup untuk dirinya sendiri.Terkadang, bisa membantu keuangan ayah, tetapi dalam waktu yang lama sekitar 2 atau 3 bulan.Kakakku yang merupakan anak kedua, akhirnya ikut membantu ayah mencari barang-barang bekas. Ayah berangkat sebelum subuh dan pulang setelah zuhur, dan kakakku berangkat setelah ayah pulang dan kembali menjelang waktu magrib. Mulai saat itu, kondisi ekonomi keluarga mulai membaik.Jika sebelumnya aku harus berhutang ke warung setiap hari, sejak saat itu mulai berkurang, menjadi empat kali atau hanya 3 kali saja dalam seminggu.Uang yang dikirim dari ibuku setiap bulannya belum mencukupi kebutuhan.Uang itu selalu habis untuk membayar hutang selama satu bulan ke belakang serta membayar sebagian tagihan listrik dan air.
Menjadi juara kelas dan juara umum
Semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar sampai SMP, alhamdulillahaku selalu menjadi juara kelas serta juara umum. Walaupun aku tidak terlalu sering belajar kecuali saat akan ulangan, karena waktuku yang disibukkan untuk memulung di siang hari(setelah pulang sekolah) dan mengurus adikku yang masih kecil di malam hari. Tetapi, setiap ada waktu luang aku sempatkan untuk membaca buku apa saja yang aku temukan, misalnya : buku pengetahuan, bukucerita atau potongan-potongan kertas koran sekalipun. Setiap kali guru-guru bertanya atau memberikan kesempatan untuk bertanya, entah mengapa teman-temanku tidak ada yang mengacungkan tangannya.Anehnya, aku bisa menjawabnya karena aku pernah membacanya walaupun di waktu yang sudah lampau. Tak jarang beberapa guru yang aku tanyakan mengenai sesuatu, kadang  tidak bisa menjawab pertanyaanku, karena membutuhkan tingkat analisis yang tinggi sehingga sering dijadikan ‘PR’ bersama. Seperti ketika aku menanyakan kepada Ibu guru fisika,
“ Bu, kalau wujud zat itu hanya ada 3, yaitu : wujud padat, gas dan cair. Maka api dan listrik itu termasuk wujud zat yang mana?”
Guruku pun bingung ketika mendapat pertanyaan tersebut.Ia kemudian menjawab,
“Kalau mengenai itu, ibu belum tahu. Nanti, ibu coba cari lagi di buku, kamu juga bisa cari sendiri yaa di buku-buku yang lain.”
Dikarenakan aku selalu juara kelas dan juara umum, aku pernah diberi hadiah untuk berwisata keliling Kota Jakarta sebanyak dua kali. Untuk ukuran sekolah yang memiliki fasilitas kurang memadai dan terletak di pelosok daerah, memberikan kesempatan bagi siswanya untuk pergi ke luar kota apalagi tujuannya untuk piknik, merupakan sesuatu yang mewah. Selain itu, ketika di SMP aku juga pernah menorehkan prestasi di luar lingkungan sekolah seperti juara 1 kejuaraan catur tingkat kecamatan, juara 2 lomba pidato se-6 kecamatan di Indramayu, dan juara 3 olimpiade matematika se-Kabupaten Indramayu.

Tahun 2010
            Kehidupan sekolahku penuh dengan warna-warni.Ada saatnya aku tersenyum bangga karena selalu mendapatkan nilai bagus dan ada saatnya pula akubersedih karena sesuatu karena ayahku selalu memaksaku untuk bekerja.Pernah, saat itu aku hendak pergi menuntut ilmu namun tiba-tiba dari arah belakang ayahku menarik kerah bajuku sampai aku tercekik dan hampir jatuh.
            Ngapain kamu sekolah?Emangnya sekolah bisa ngasilin duit?Emangnya dengan sekolah kamu bisa jadi insinyur?Udahmendingan mulungaja!”
Akhirnya aku merelakan satu hari emasku, untuk mendapatkan ilmu yang baru dari guru-guruku tersebut.
Ibuku pulang
Pada tanggal 21 Maret 2010, akhirnya ibuku pulang dari Kuwait membawa berbagai macam pakaian, makanan dan oleh-oleh khas negara tersebut.Aku terharu bercampur bahagia menyambut kedatangan ibuku.Kini, anak-anaknya sudah tumbuh dewasa.Ia tidak pernah tahu bagaimana perjalanan hidup yang kami alami di sini. Kami pun tidak pernah tahu apa yang dialami ibu ketika di sana. Ibuku sangat gembira ketika melihat putrinya yang dahulu ia tinggalkan ketika usianya tiga tahun, kini telah tumbuh menjadi anak yang ceria dan sangat berbeda dengan dua tahun lalu ketika ia tinggalkan.
Ketika ibuku mengetahui, bahwa uang yang selalu dikirimkan selalu habis dan keadaan rumah masih sama seperti saat ia tinggalkan sebelumnya, juga utang kepada tetangga dan warung pun masih ada, ibuku sangat kesal sekali kepada ayahku. Karena ayahku, telah menyia-nyiakan uang hasil jerih payahnya selama bekerja di luar negeri.Untungnya ibuku masih bisa membawa pulang sisa uangnya sebanyak sepuluh juta. Dalam waktu satu bulan, uang itu digunakan untuk membayar utang dan masih bersisa sekitar lima juta.
Setelah ibuku pulang, aku berhenti memulung karena kebutuhan hidup sehari-hari sudah terpenuhi. Dalam empat bulan, persediaan uang lima juta tersebut yang digunakan untuk menutupi kekurangan kebutuhan sehari-hari, semakin hari semakin habis. Ibuku sudah tidak betah dengan keadaan ekonomi seperti ini, ia ingin kembali bekerja di luar negeri. Karena kondisinya semakin darurat, akhirnya ayahku mengizinkan ibuku untuk bekerja ke luar negeri kembali sebagai TKW.Kali ini dengan tujuan negara Uni Emirat Arab di Kota Dubai.
Ibuku menjadi TKW kembali
            Sungguh ironis, dalam waktu yang tidak lama setelah kami sekeluarga baru saja menikmati kehangatan bersama ibu.Pada tanggal 3 Agustus 2010, ibuku kembali berangkat ke luar negeri untuk mengadu nasib di negeri orang.Ia meninggalkan anak-anaknya kembali seperti dua tahun silam, kali ini kondisinya lebih menyedihkan. Karena anaknya yang kedua dalam kondisi yang tidak sehat, dia sering batuk-batuk dan tubuhnya semakin hari semakin kerempeng. Kepergiannya kali ini  membuat aku bertanya apakah ibuku sayang kepada keluarganya atau tidak? Pikiran seperti itu sempat muncul dalam benakku. Tetapi jika ia tidak menyayangi keluarganya mana mungkin ia rela bekerja sampai harus pergi ke luar negeri.
Kakakku meninggal dunia
            Setelah keberangkatan ibuku, tanggal 6 Oktober 2010,kakakku yang sedang sakit tersebut telah kembali kepada Sang Khaliq. Dia terkena penyakit bronchitis yang kronis, karena sering menghisap debu dan asap kendaraan bermotor yang melintasi jalan pantura. Pekerjaanya sama seperti apa yang dilakukan oleh ayahku, yaitu memulung. Dia telah wafat karena penyakitnya tidak bisa diketahui.Dia tidak pernah memeriksakan penyakitnya ke dokter atau kemanapun, karena batuk yang sering dirasakannya dia kira hanyalah batuk biasa.Barulah ketika satu hari menjelang ajalnya menjemput, dia merasakan dadanya sangat sakit.Lalu paman memberanikan diri untuk membawanya ke rumah sakit, masalah biaya urusan belakangan. Setelah di cek oleh dokter, diketahui bahwa iatelah menderita bronchitis yang akut. Esok harinya kakakku langsung dibawa ke rumah, karena dia telah menghembuskan napasnya yang terakhir pada pukul 02:10 WIB.
Tahun 2011
            Ketika mendengar bahwa anaknya telah meninggal dunia, ibuku ingin segera pulang karena ia tidak ingin kehilangan anak-anaknya yang lain. Tetapi karena proses pemulangan tidak semudah seperti apa yang dibayangkan, maka ibuku baru dapat pulang pada bulan Januari 2011.
Setelah lulus dari MTs dengan nilai UN yang cukup memuaskan dan asli tidak mencontek, aku sempat bingung ingin melanjutkan SMA kemana. Semua SMA di sana membutuhkan biaya, yang merupakan momok menakutkan bagi keluargaku. Aku teringat kembali dengan perkataan ayahku, ketika mengetahui aku lulus dari MTs.
            “Kamu tidak usah melanjutkan sekolah, sekolah itu ngeluarin duit! Bukan ngasilin duit! Mendingan ikut ayah bekerja karena bekerja itu menghasilkan uang.Emangnya dengan sekolah kamu bisa jadi insinyur?Udahmendingan mulungaja!”
Pikiran itu pun kubuang jauh-jauh, karena aku masih mempunyai satu harta yang tak ternilai harganya yaitu “mimpi”.Tanpa uang orang masih dapat hidup. Tetapi tanpa “mimpi” orang akan mati karena tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas. Aku membayangkan bahwa aku dapat bersekolah dengan layak dan dapat mewujudkan mimpiku.Di saat aku merenung di dalam kamar, secara tak sadar aku meneteskan air mata.Karena bukan tipikal orang yang suka larut dalam kesedihan maka cepat-cepat aku mengusap air mataku, ketika mengetahui bahwa aku menangis.Dengan menggenggam tanganku sekuat mungkin, aku memukul ubin rumahku keras-keras dan berteriak sekencang-kencangnya. Mulai saat itu, semangat belajarku bergejolak seperti air mendidih dan aku berjanji untuk menjadi seorang insinyur di masa depan, untuk membuktikan bahwa perkataan ayahku hanyalah omong kosong.
Sebenarnya ada sebuah sekolah yang biaya per bulannya masih dapat dikejar tetapi aku tidak mau mendaftar ke sana. Karena sekolah itu merupakan Madrasah Aliyah yang berbasis pesantren.Itu bertentangan dengan mimpiku untuk menjadi seorang insinyur.Hingga datanglah sebuah kabar gembira yang memberi tahu agar aku tetap dapat bersekolah.
Sebuah titik terang dalam kehidupan
            Suatu hari saat aku bersekolah, aku mendengar kabar ada beasiswa yang diperuntukkan siswa lulusan SMP/MTs kurang mampu untuk disekolahkan di SMA bertaraf internasional selama tiga tahun di Bandung. Tepatnya di BINA SISWA SMA PLUS CISARUA Provinsi Jawa Barat yang berasrama. Katanya, aku akan bersekolah di BINA SISWA SMA PLUS CISARUA tetapi melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) intensif di SMA NEGERI 1 CISARUA, Kabupaten Bandung Barat.
Aku pun langsung terkejut sekaligus sumringah mendengarnya.Info tersebut bagaikan angin segar yang berhembus di tengah padang gersang.Kabar tersebut datangnya dari temanku di MTs. Dia mengatakan, bahwa sahabatnya yang bersekolah di SMP NEGERI 1 Kandanghaur, mendapatkan formulir beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Bandung.Karena penasaran maka aku pun meminta untuk diantarkan ke rumah orang itu. Setelah bertemu, aku berbincang-bincang sebentar dengannya dan aku pun mendapatkan formulir pendaftarannya.Mulai saat itu terjalin erat persahabatan antara aku dengan anak yang memberikan formulir tersebut.
Mendengar kabar beasiswa ini, ibuku sangat gembira dan mendukung penuh anaknya tersebut untuk mendapatkan beasiswa. Tetapi berbeda dengan ayahku dan memang seperti biasanya ayah khawatir dengan kehidupanku di sana. Soal makan, tempat, tinggal, dan biaya sekolah bagaimana?Lalu aku pun menjelaskan bahwa itu beasiswa penuh yang ditanggung Pemerintah Provinsi Jawa Barat selama tiga tahun termasuk hal-hal tadi. Namun beberapa pertanyaan kembali membungkam mulutku untuk berbicara.
            Emang dibiayain selama itu? Gimanakalocuma setahun dan dua tahunnya kamu tanggung sendiri biayanya?”
            Terus gimana kalo kamu direkrut jadi anggota NII (Negara Islam Indonesia) terus dijadikan pengantin bom? (saat itu memang NII sedang gencar-gencarnya terjadi di Bandung)”.
Aku memintatolong kepada salah satu guru spiritualku, untuk membicarakan hal ini dengan orangtuaku agar mereka percaya bahwa beasiswa itu benar adannya dan bukan penipuan.Singkat cerita guruku berhasil membujuk ayahku untuk tidak mengkhawatirkan diriku. Tetapi saat mengetahui nilai UN-ku hanya 33,95 akumerasa pesimis untuk mengikuti tes PSB (Penerimaan Siswa Baru) di Bandung.Mungkin, siswa-siswa dari kabupaten/ kota yang lain mempunyai nilai UN yang lebih tinggi.Optimis!” hanya kata itu yang dilontarkan oleh guru agamaku demi membangun semangatku yang hampir runtuh. Beliau juga memberikan wejangan agar aku salat tahajud dan berzikir di malam hari selama40 malam tanpa putus, jika aku bersikeras untuk tetap dapat sekolah. Pada awalnya hal itu sangat sulit dilakukan karena harus mengorbankan waktu istirahatku. Namun karena dibiasakan, akhirnya aku berhasil melakukan amalan tersebut bahkan melebihi waktu yang dianjurkan.
Beberapa hari kemudian ada panggilan dari pihak penyedia beasiswa tersebut, melalui telepon kantor milik sekolah. Setelah mengangkat telepon dan berbincang-bincang ternyata aku lulus tes administrasi dan diundang untuk hadir dalam tes PSB di Bandung. Allah telah mengabulkan satu keinginanku.Lalu aku keluar darikantor, memandang langit luas dan tersenyum.“Aku akan berjuang untuk tes seleksi beasiswa ini,” gumamku dalam hati.
Seribu nikmat dari Allah
Setelah sampai di Bandung aku dan guru pendampingku sempat tersesat di daerah Ledeng. Namun setelah bertanya-tanya kepada warga sekitar, akhirnya aku sampai juga di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Letaknya di atas Kota Cimahi dan kota-kota lainnya di daerah Bandung. Wajar saja ketika keluar dari angkot dan menginjakkan kaki di tanah Cisarua, kami menggigil kedinginan. Gigi-gigikubergemeletukan dan aku menyimpan kedua telapak tanganku di ketiak.
Malam pun tiba. Para peserta PSB sedang berada di kasurnya masing- masing. Beberapa diantara mereka ada yang sedang belajar untuk menghadapi ujian tertulis esok hari, ada yang saling bertukar pengalaman dengan teman-teman barunya, ada yang membaca Al-quran demi dimudahkan masalahnya, dan ada pula yang sudah tertidur dilapisi jaket beberapa lapis karena memang malam itu hawa Cisarua sangat dingin. Dan itu pun dirasakan olehku.Dinginnya suasana malam karena daerah geografisnya dan dinginnya hidup tanpa ditemani keluarga walau baru sehari aku berpisah.Bagaimana kalau aku diterima di sini? Pasti akuakan berpisah berbulan-bulan dengan keluarga, teman-teman, dan kampung halamanku. Tetapi, aku mengobati rasa ‘dingin’ tersebut dengan salat tahajud seperti apa yang dianjurkan oleh guru agamaku dahulu.
Keesokan harinya para peserta PSB menjalani tes akademik.Bagiku, soal-soal IPA dan matematika tidak ada apa-apanya, karena aku memang menyukai keduanya.Kecuali saat aku bertemu dengan soal Bahasa Inggris.Dari dulu, memang aku dan pelajaran Bahasa Inggris tidak pernah akur.Bahkan saat mengerjakan soal Bahasa Inggris di tes akademik, aku merasa kebelet BAB (Buang Air Besar) dan dengan asal aku mengerjakan semua soal.Mau dikerjain ya enggak bisa, mau ditinggalin ya berarti aku telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Tetapi karena panggilan alam telah berteriak sedari tadi, maka aku putuskan untuk cepat mengerjakan soal secara lillahi ta’ala karena sudah optimis di soal matematika dan IPA, lalu  akukeluar dari ruang tes dan langsung lari ke toilet.
Hari kedua tes yang dijalani adalah tes kesehatan dan fisik, tes ini merupakan tes yang sangat menyiksa jiwa dan raga.Di dalam sebuah ruangan yang disebut gedung serbaguna, semua siswa di suruh membuka pakaiannya dan hanya menyisakan pakaian dalamnya saja. Kemudian, disuruh lari ditempat, lalu melompat, lari ditempat lagi, semakin cepat, diperlambat, lompat lagi, semakin tinggi, kemudian push up, dan terus saja gerakan tadi berulang-ulang dilakukan tanpa berhenti selama 12 menit. Serta diperiksa seluruh tubuhku, apakah mempunyai tato?Bertindik?Atau mempunyai penyakit dalam yang kronis.
Hari ketiga diadakan tes wawancara dimana banyak peserta PSB yang menangis ketika disuruh menceritakan kehidupan sehari-harinya di rumah.Tetapi tidak denganku.Walau sudah dipaksakan untuk menangis tetap saja air mataku tidak menetes.
Di hari keempat merupakan hari pengumuman kelulusan. Seluruh peserta PSB melaksanakan apel penutupan sekaligus mengambil amplop yang berisi keterangan lulus atau tidaknya. Tanda untuk siswa yang lulus adalah beramplop tebal karena berisi lembaran persyaratan masa orientasi dan untuk yang belum lulus sebaliknya. Banyak peserta yang berkomat-kamit meminta bantuan Allah saat membuka amplopnya.Ada yang menangis terharu karena diterima dan ada pula yang menangis karena belum diberi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa. Dari 150 peserta PSB hanya diambil 70 orang yang terdiri dari 50 orang putra dan 20 orang putri. Maka dari itu aku belum berani untuk membuka amplopku dan kembali pesimis untuk bisa masuk ke dalam daftar 50 orang tersebut.Lalu aku meraba-raba amplopku dan dirasakan bahwa amplopku tipis.Namun sebenarnya aku tidak bisa membedakan mana amplop yang tebal dan mana yang tipis.Semakin besarlah rasa pesimisku itu.
Ketika sedang menunggu bus, aku mendengar kabar dari dua orang alumni yang ikut bersamaku bahwa ada dua orang yang berasal dari Kabupaten Indramayu yang lulus seleksi. Dan diketahui bahwa akulah dan temankusatu lagi yang belum membuka amplop.Sedangkan, siswa yang berasal dari Kabupaten Indramayu lain, sudah membuka amplopnya dan mereka dinyatakan tidak lulus. Karena penasaran maka aku merobek amplopku dan mengeluarkan dua buah kertas dari dalam amplop tersebut.Salah satu amplop berisikan mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dibawa untuk masa orientasi. Lalu mataku berkaca-kaca dan terus mengulang membaca surat tersebut. Dalam hati aku mengucapkan hamdalah dan langsung pergi ke musala di SPBU terdekat untuk melaksanakan salat duha.Tak henti-hentinya aku memuji asma Allah ketika mimpi besarku untuk melanjutkan sekolah dikabulkan.
Tahun 2014
Aku Rindu Kalian
Cuaca di luar sedang tidak bersahabat. Halilintar menjilat-jilat permukaan bumi, angin berhembus kencang memaksa pohon-pohon untuk terlepas dari akarnya, dan puluhan liter air  turun membasahi bumi Bandung yang sudah lama berharap diguyur hujan.Sedangkan di meja belajar, aku sedang duduk memandangi sebuah potret usang bergambar keluargaku yang sedang bersantai di halaman rumah.Secara perlahan aku mengusap potret ayahkuyang seakan sedang menatap wajahku. Sepertinya, aku sangat merindukan keluargaku yang berada di Indramayu sana, karena sudah lama aku tidak bertemu mereka. Merasa sia-sia membuang waktu dengan meneteskan air mata kerinduan ini, aku kembali mendalami pelajaran-pelajaran yang belum aku kuasai walaupun jam dinding sudah menunjukkan pukul 23:30 WIB.

Impian dan harapanku di masa depan
            Tak terasa masa pendidikanku di Bandung sebentar lagi akan berakhir. Masa-masa indah SMA-ku telah kulewati tanpa kehadiran orang tua di sisiku. Aku kira, aku tidak akan rindu seperti ini. Aku kira, aku tidak akan sedih seperti ini. Ternyata jauh dari orang tua membuatku sadar, bahwa sekeras apapun dan sekasar apapun ayahku, aku tetap merindukannya ketika ia jauh di sisiku. Hingga akhirnya, dalam waktu yang tidak lama lagi aku akan melewati garis finish pada jenjang Sekolah Menengah Atas ini.
            Sekaranglah waktunya bagi diriku untuk benar-benar dalam merencanakan masa depan. Mulai dari sekarang aku harus menentukan tujuan dan pilihan yang tepat sesuai dengan bidang yang aku minati disertai dengan kemampuan yang aku miliki.Sejak dari MTs, perguruan tinggi yang aku tahu hanya ITB. Jika aku ditanya oleh guru atau orang lain, “Apakah kamu ingin kuliah?”, aku akan jawab “Ya, aku ingin kuliah, Insya Allah”. Mereka kembali bertanya, “Kemana kamu akan kuliah?”, aku langsung menjawab, “ITB. Institut Teknologi Bandung.” Tetapi memang pada saat itu aku belum tahu fakultas apa yang akan aku pilih karena aku belum mengerti.
            Aku menjadi lebih banyak tahu tentang ITB ketika aku duduk di bangku SMA, karena ternyata banyak juga siswa-siswi yang ingin melanjutkan pendidikannya ke ITB. Untuk sekarang, apabila aku ditanya, “Apakah kamu ingin melanjutkan kuliah?” maka bukan jawaban “Ya” atau “Tidak” yang akan aku katakan. Tetapi aku akan menjawab dengan semangat dan detail, “Aku akan melanjutkan kuliah ke ITB fakultas STEI (Sekolah Teknik Elektro dan Informatika) karena aku menyukai teknik elektro dan menjadi mahasiswa terbaik disana serta menjadi sarjana teknik yang dapat diandalkan dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain”.
            Ketika aku sudah menjadi mahasiswa di ITB, aku tidak akan bermalas-malasan, walaupun rasa malas atau bosan akan aku ditemui nantinya. Aku tidak mau menyia-nyiakan pendidikanku yang telah aku perjuangkan itu, karena orang tuaku yang berada di desa sedang menanti kedatanganku dengan menyandang gelar “Sarjana Teknik”. Aku akan menggeluti bidangku dalam teknik elektro, aku ingin sekali bisa menciptakan sebuah robot. Aku akan membuat robot multifungsi yang dapat menyelesaikan seluruh masalah yang rumit sekalipun untuk membantu manusia.
            Di ITB aku tidak akan mungkin tinggal diam, aku akan aktif mengikuti organisasi-organisasi yang ada di ITB dan menjadi orang terpenting didalamnya. Pokoknya, aku sudah siap dengan atmosphere yang akan aku rasakan ketika menjadi mahasiswa di ITB nanti. Aku akan mengikuti kompetisi-kompetisi tingkat nasional bahkan kalau bisa sampai ke tingkat internasional dalam kompetisi “Robot Cerdas”. Itu semata-mata aku lakukan untuk menambah wawasanku serta mengangkat namaku dan yang pasti nama almamater ITB.
            Selanjutnya, setelah aku lulus S1 dan menjadi “Sarjana Teknik” ITB, aku akan melanjutkan pendidikanku yaitu S2 dan S3 di Jerman. Setelah itu, barulah aku akanmengembangkan ilmu yang aku dapatkan dari ITB dan Jerman. Kemudian aku akan“mentransfer” ilmuku kepada anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah tetapi tidak mempunyai biaya.
Aku ingin sekali mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang menampung seluruh anak-anak yang tidak bisa sekolah karena masalah biaya dan untuk anak-anak jalanan. Selanjutnya aku akan mendirikan sebuah gedung besar yang berisi peralatan elektronik, mekanik, material, mesin-mesin, serta alat-alat praktikum sains yang menarik untuk melakukan eksperimen dan penelitian, yang letaknya berdekatan dengan yayasan pendidikan yang aku dirikan sendiri. Sehingga, apabila siswa-siswi yang berada dibawah naungan yayasanku sedang jenuh dalam belajar, akan kuajak mereka jalan-jalan ke gedung tersebut untuk mencoba peralatan sains yang ada di gedung tersebut agar mereka senang.
            Kemudian, aku akan membangun desaku menjadi desa yang maju dan makmur. Serta masyarakatnya tidak buta terhadap pendidikan dan pengetahuan apalagi sampai ketinggalan informasi juga tidak ada anak-anak yang hanya lulus SD atau SMP saja. Setelah desaku sudah maju, maka kecamatanku harus menjadi kecamatan yang maju, lalu kotaku akan kujadikan kota yang mandiri dan menjadi percontohan bagi kota-kota yang lain. Jika Allah masih mengijinkan kesempatan kepadaku, maka aku akan membuat Provinsiku menjadi Provinsiunggul dan terdepan dalam segala bidang. Setelah itu,aku akan membuat Indonesiaku tidak lagi dikatakan sebagai negara yang ketinggalan teknologi, karena Indonesia telah mampu membuat alat-alat yang canggih sendiri, tanpa perlu bantuan dari negara manapun. Indonesia bukan lagi negara konsumtif, tetapi menjadi negara produktif, lalu aku akan mengibarkan Sang Saka Merah-Putih diatas puncak tertinggi Mount Everest. Sekarang aku bisa membuktikan kepada ayahku, bahwa aku bisa menjadi “insinyur”.Bahkan, lebih daripada itu karena aku telah membuat Indonesia tidak dianggap remeh di mata dunia.Namaku akan dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia walaupun aku telah meninggalkan dunia ini. Seperti itulah, kisah hidup dan cita-citaku semoga bermanfaat bagi para pembaca dan semua cita-citaku dapat terwujud. Amin…
 
Biodata Penulis
Nama               : Jajat Sudrajat Iskadir
Sekolah           : SMA NEGERI 1 Cisarua, Kabupaten                                     Bandung Barat
Alamat tinggal            : Asrama BINA SISWA SMA PLUS            CISARUA Prov. Jawa Barat Jln. Terusan Kolonel           Masturi No.64 Kec. Cisarua Kab. Bandung Barat            40751.